Hepatitis B adalah infeksi yang disebabkan oleh virus DNA dan disebut virus hepatitis B (HBV). Penderita hepatitis B, pada awalnya akan mengalami hepatitis B akut yang berlangsung maksimum selama 6 bulan. Jika hepatitis B berlangsung lebih dari 6 bulan, maka disebut dengan hepatitis B kronis. HBV adalah virus bermateri genetik DNA, namun replikasi di dalam sel hati melibatkan molekul perantara yaitu RNA sehingga HBV mengalami kesalahan replikasi yang menyebabkan mutasi lebih tinggi daripada virus bermateri genetik DNA lain. Penderita hepatitis B akut akan sembuh dengan sendirinya karena sistem pertahanan tubuh penderita dapat mengatasi keberadaan HBV di dalam tubuhnya, sehingga HBV dieliminasi dengan baik. Namun, penderita hepatitis B kronik harus diobati dan pengobatan terdiri atas interferon dan antivirus.
Hepatitis B akut ditandai dengan keberadaan materi genetik HBV (ini marka yang pertama kali muncul), diikuti dengan munculnya HBsAg, DNA polimerase, kemudian HBeAg (marka yang menunjukkan bahwa HBV sedang giat berkembang biak di sel hati) dan anti HBcAg IgM (antibodi terhadap HBcAg). Penyembuhan akan terjadi dengan munculnya anti HBeAg dan hilangnya HBeAg, anti HBsAg dan hilangnya HBsAg serta antiHBcAg IgG. Anti HBcAg dapat berada di dalam darah untuk waktu lama.
Hepatitis B kronis ditandai dengan keberadaan HBsAg dan HBeAg dalam waktu yang lama. Anti HBcAg IgM biasanya sudah tidak dapat dideteksi pada minggu ke36 setelah pemaparan terhadap HBV. Total anti HBcAg juga dapat dideteksi pada waktu lama. AntiHBeAg dapat muncul untuk waktu yang lama dan dengan demikian HBeAg dieliminasi dari dalam tubuh, sehingga pasien menjadi HBeAg negatif. Pada kondisi ini, DNA HBV dapat dideteksi di dalam darah penderita dengan kandungan yang tinggi. Namun, pada sejumlah penderita, umumnya berjenis kelamin pria, HBV dapat mengalami mutasi sehingga partikel virus tidak mampu menghasilkan HBeAg walaupun HBV berkembang biak dengan pesat. Pasien seperti ini disebut dengan penderita hepatitis B kronis HBeAg negatif.
Baru-baru ini telah dikembangkan suatu metode yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HBV di dalam serum atau plasma penderita dan metode tersebut adalah real-time PCR. Metode ini menawarkan sensitifitas dan spesifitas yang tinggi. Real-time PCR dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis hepatitis B (bersama dengan uji imunologi untuk mengetahui keberadaan marka HBV lain), pemantauan keberhasilan (atau kegagalan) terapi, pemunculan fenomena "breakthrough" dan relapse.
Pasien hepatitis B kronis harus dipantau kandungan DNA HBVnya di dalam darah, karena kandungan DNA HBV yang tinggi meningkatkan resiko munculnya kerusakan jangka panjang pada hati pasien hepatitis B yang parah yaitu munculnya fibrosis, sirosis dan kanker hati. Fibrosis adalah penumpukan jaringan berserat dan keras dalam hati. Sirosis adalah kondisi yang ditandai dengan adanya jaringan parut permanen pada hati.
Salah satu cara menentuka keberadaan dan kandungan DNA HBV di dalam darah pasien adalah dengan real-time PCR. Bagaimana melakukan real-time PCR? Pertama-tama tentu materi genetik HBV harus diisolasi dan dimurnikan dari plasma atau serum penderita. Kemudian materi genetik tersebut diperbanyak di dalam suatu lightcycler dan jumlah materi genetik hasil perbanyakan dipantau menggunakan suatu reagen spesifik HBV yang ditandai dengan fluoresense. Penanda ini akan melaporkan setiap saat berapa jumlah materi genetik yang telah diamplifikasi sehingga real-time PCR dapat digunakan untuk mengkuantitasi materi genetik HBV yang terkandung dalam spesimen biologi seorang pasien.
Yang menjadi fokus untuk pengobatan adalah pasien hepatitis B kronis. Untuk pasien HBeAg positif, terapi disarankan bila DNA HBV > 20.000 IU/ml dan nilai ALT > 2 x nilai normal (nilai normal untuk pria <> 2000 IU/ml dan ALT > 2 x nilai normal. Skema pemeriksaan selanjutnya sama dengan untuk pasien dengan HBeAg positif di atas.
Tuesday, May 12, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)